Skip to main content

Berlari Bebas dan Keseimbangan

Selamat menjelang pagi, khalayak ramai. Sepertinya saya cukup lama tidak menciptakan postingan yang menginspirasi sanak saudara dan handai taulan sekalian. *kemudian dikeplak* *biasane nyampah padahal*. Jadi, belakangan saya memang keseringan pulang malam dengan keadaan kelelahan. Sampai rumah langsung tidur, dan bahkan tidak sempat membersihkan wajah dan maskeran :( *ceritanya sedih*. Ya, mau bagaimana lagi. Tuntutan mahasiswa semester (ketoke) akhir memang demikian. Apalagi ini semester genap. Konon kabarnya semester-semester semacam inilah yang biasanya paling menguras waktu, tenaga, hati, dan perasaan.  Apalagi ditambah persiapan KKN yang makin dekat. Alhasil, rencana untuk menindaklanjuti postingan ini sekadar menjadi wacana belaka.

Anyway, akhirnya saya, pada hari ini, sabtu (23/5), sembari memperdengarkan aneka bebunyian random melalui sonklot, saya ngepost di blog ini lagi. Mungkin jari-jemari saya gatel, pengen ngetik tulisan-tulisan random setelah akhirnya kembali menulis hal-hal lain yang cenderung lumayan bermutu. Intinya, saya bersyukur masih sanggup terbangun dan memenuhi hasrat saya buat nyampah  di sini. Jujur, saya merindukan saat-saat seperti ini. Saat dimana saya menulis dengan ihklas karena masih tetap terjaga dengan ikhlas pula. Sebenarnya, di hari-hari yang lalu, saya pun sempat dalam kondisi yang tidak tidur pada jam-jam segini. Namun sepertinya memang ada satu rutinitas tidak rutin yang membuat hari ini (or technically hari kemarin, jumat (22/5)) terasa berbeda. Jadi, akhirnya saya berlari-larian lagi. *~yeayy~. Jadi, belakangan saya kurang sanggup berlari-larian dikarenakan saya terjatuh lagi. Lagi-lagi saya jatuh bareng pingkan, skuter matic pink kesayangan yang sebelum-sebelumnya pernah jatuh bareng juga. Saya -dengan bodohnya- jatuh di saat-saat sibuk semacam itu tadi. Padahal di hari saya jatuh, selasa (28/4) lalu, pingkan habis diservis. Entah saya yang kelewat lelah, atau memang pingkan yang... lelah. Mungkin pingkan butuh pijet refleksi, biar bisa lebih luwes. Atau malah saya yang... ah sudahlah.

Jadi, kembali ke persoalan berlari-larian tadi. Saya rasa memang berlari-larian -atau berolahraga- merupakan salah satu cara saya menyeimbangkan hidup. Maunya sih berenang. Cuman, ya... luka dengkul kiri saya masih belum kering. Anggap saja berlari-larian sembari mengenakan celana pendek merupakan upaya saya mengeringkan luka di dengkul kiri saya. Sekaligus upaya memenuhi keseimbangan dalam hidup saya, tentunya. Maklum, saya bukan mahasiswa yang terlibat aktif dalam aneka kegiatan olahraga. Jadi, ya kalau mau lari-larian atau apa, ya suka-suka saya. Kapan pengen lari. Kapan butuh lari. Tapi, ada kalanya saya memandang "berlari"sebagai sebentuk kebutuhan. Baik itu berlari secara harafiah, maupun secara tidak harafiah. Berlari yang dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari kegiatan yang hanya dapat dilakukan dengan bergerak. Saya memang bukan tipe manusia yang betah diem-dieman. Beberapa hari di rumah -karena habis reunian sama aspal itu tadi- membuat saya merasa gendut  jenuh. Untung teman-teman kuliyah saya ada yang nengokin sampe rumah *ceritanya terharu*. Paling tidak, kami bisa saling menertawakan-atau dalam hal ini lebih tepatnya saya yang ditertawakan karena kebodohan saya-. Terimakasih karena sensasi yang saya rasakan ketika  tertawa dengan bibir jontor  dua jahitan :""). Ketawa sakit, cyuuks :"). Intinya, saya bahagia ketika saya tidak diam saja. Saya -sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan yang konon katanya Maha Esa-, lebih suka bergerak. Bukankah bergerak adalah salah satu ciri hidup? Dan bergerak dalam bentuk berlari-larian -atau olahraga lain- bagi saya adalah bentuk dari kebebasan. Cara saya keluar sejenak dari aneka tuntutan perkuliahan dan perbukankuliahan. Salah seorang teman saya pernah bilang bahwa saya adalah seorang pecinta kebebasan. Setidaknya demikianlah yang teman saya bilang pada suatu hari yang saya lupa kapan. Jadi, dengan bebas saya jadi lebih bahagia. Dengan berlari bebas, saya merasa hidup saya lebih seimbang. Oiya, bicara-bicara soal lari, berikut saya lampirkan beberapa moment yang sempat saya tangkap di kawasan Grha Sabha. Moment dimana orang-orang tengah berlarian ketika menjelang senja.





Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...