Skip to main content

Ditunggu



photo source


"Dek, nanti bisa ikut kondangan, kan? Di Wisma Kagama, lho," ujar ibu pagi itu.  Cuaca tampak kelabu berdebu, seakan mendung. Abu kelud yang menyembur terbawa angin hingga ke kotaku.

"Jam berapa? Aku mau rapat tema," sahutku. Memang beginilah rutinitasku tiap sabtu pagi. Bahkan jalanan yang berselimut abu dan sebelah mataku yang kelilipan debu kurasa bukan alasan yang cukup untuk mangkir dari rutinitas tersebut. Alasannya sepele. Ada yang tengah menungguku.

"Sore kok. Hujan abu begini mau jauh-jauh ke kampus? Mbok nggak usah aja," ibuku menanggapi. Aku tahu beliau pasti khawatir putrinya berkendara dengan kondisi jalan yang embuh. 

"Aku ditunggu, soalnya. Nggak papa. lah. Sekalian liat-liat. Nanti aku balik kok, bisa ikut kondangan," sahutku. Tak berapa lama, aku memacu skuter matic warna merah jambu. Benar saja. Jalanan tampak buram penuh debu. Pun aku tak berani memacu motorku terlalu laju. Aku harus tiba di tujuan, jadi jangan sampai kenapa-kenapa di jalan. Aku sedang ditunggu.

Tak terasa aku sudah memasuki kawasan kampus. Tampak abu tebal menyelimuti jalanan beraspal. Segalanya tampak kelabu, seperti foto-foto pada masa lalu. Grayscale? Bw? Apapunlah itu. Yang jelas, dahan-dahan pohon harus menyangga beban lebih. Bukan tak mungkin mereka bisa tumbang sewaktu-waktu.

Kawasan kampus tampak sepi. Tak banyak satpam berjaga. Hanya satu-dua orang yang berupaya menyiram tumpukan abu dengan bantuan selang, meski tak berapa lama abu akan kembali menutupi. Bahkan portal pun kosong, tanpa ada  yang menunggu. Lagipula, siapa sih yang hujan-hujan abu begini mau keluar rumah? Mungkin hanya aku, dan mereka yang tengah menunggu.





Yogyakarta, 15 Februari 2014



*Cerita sangat pendek ini terinspirasi dari cerita pendek karya Sapardi Djoko Damono yang randomly saya baca di perpustakaan kota. Cerita pendek berjudul Ditunggu Dogot yang kemudian dikolaborasikan dengan kenangan. 

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2