Aku selalu mengamati Ben setiap hari Minggu pagi. Minggu pagi yang benar-benar pagi, ketika aku menjalani rutinitas mingguan bersama ibu. Rutinitas mingguan yang tentu juga menjadi rutinitas bagimu dan bagi segenap manusia yang menyempatkan waktu untuk bangun pagi-pagi benar, ketika mayoritas manusia-manusia lain sudah kembali lelap selepas menjalankan ibadah pagi harian dua raka'at mereka.
Sejujurnya, aku selalu mempertanyakan alasan Ben, duduk sendiri dalam bangunan yang sama pada hari Minggu pagi. Iya, aku menyimpulkan Ben pergi sendiri dan pulang sendiri, meski dia selalu duduk bersisian dengan orang lain. Orang-orang yang duduk di sisinya selalu berbeda. Aku melihat Ben membuat jarak dengan mereka, meski lelaki berlesung pipit itu selalu tersenyum ketika menjabat hangat tangan-tangan mereka; entah lelaki, entah perempuan. Aku selalu menduga bahwa Ben tengah menjalani hubungan jarak jauh dengan perempuan. Meski tidak menutup kemungkinan apabila ternyata dia menjalin hubungan dengan lelaki. Intinya, lelaki tampan semacam Ben sepertinya tidak mungkin apabila tidak punya pasangan. Siapapun yang mengajak Ben sebagai parter kondangan pasti tidak akan ragu memperkenalkannya di hadapan orang yang minta diperkenalkan. Belum lagi, lihat saja postur tubuhm Ben yang tegap dan tinggi dengan dada bidang. Wanita (atau mungkin lelaki, entahlah) mana yang sanggup menolak untuk sejenak berbagi beban dengan menyandarkan kepala di sana.
Di gedung yang sama dengan gedung di mana bibir Ben dan bibir manusia-manusia di sisinya memanjatkan doa yang kurang lebih serupa, lagi-lagi aku bertemu dengannya. Kita hanya duduk depan belakang, berselang satu bangku. Meski hari ini bukan hari Minggu, aku dan Ben harus sama-sama berada di tempat ini sembari melagukan puji dan puja kepada semesta. Lelagu yang istimewa karena tersisip sebuah perayaan khusus di dalam bait-baitnya. Ben pun turut bernyanyi dengan suara ngebass khas lelaki, menyenandungkan potongan-potongan bagian seperti yang dibawakan oleh mereka yang bersuara lelaki dalam paduan suara. Dibacakan pula bacaan-bacaan yang nyaris kuhapal karena aku sempat berkali-kali membacakan ayat-ayat yang sama di depan mimbar yang sama di hadapan wajah-wajah yang kian menua . Mantra tahunan.
Seperti biasa, Ben datang sendiri. Aku pun kali ini datang sendiri. Ibuku memilih untuk merayakan hari raya ini pada malam hari, bersama ayah. Konon katanya, perayaan malam berlangsung lebih khidmat.Namun demikian, aku lebih memilih merayakannya di pagi hari. Ada seseorang yang harus kutemui sehabis menjalankan ibadah tahunan ini. Jingle bells berkumandang, perayaan usai.Ben bergegas keluar sementara aku memilih untuk tak terlalu terburu pergi. Orang yang hendak kutemuai pasti belum kelar urusannya. Aku tidak suka mengambil alih hidup orang lain sehingga aku tak mau membuat orang yang ingin menemuiku menjadi terburu-buru. Lagipula, aku masih mau menyapa orang-orang yang ku kenal. Masih banyak bahan obrolan yang dapat menahanku hingga jam 12 siang lewat.
Matahari tepat berada di atas kepala umat-umat manusia yang terjebak pada zona waktu yang sama ketika aku memutuskan untuk beranjak. Dengan santai, aku memacu motorku menuju tempat tujuan. Sebuah rumah makan yang buka 24 jam. Aku tahu, aku masih harus menunggu. Tak apalah, sudah biasa. Lagipula, aku lapar. Biarlah aku memesan makanan dahulu sembari menunggu Hans datang. Rumah makan ini cukup luas den menyediakan aneka macam makanan serta minuman yang aku suka. Sekadar kudapan, makanan berat, kopi, cokelat, dan minuman ringan. Aku memesan cokelat marshmallow kental dan kentang goreng , kemudian memilih duduk di smoking area lantai dua dekat jendela. Tidak lain karena supaya aku dapat dengan mudah melihat Hans tiba nantinya. Lagipula,sebentar lagi masuk jam makan siang sehingga lantai satu biasanya ramai. Aku dan Hans tak terlalu suka keramaian, meski kami kerap kali terjebak dalam kerumunan ketika menjalankan rutinitas mingguan kami masing-masing. Rutinitas mingguan yang berbeda hari. Tak berapa lama, Hans tiba dan memarkirkan skuter matic miliknya. Ia melihatku, melambaikan tangan, lalu melangkah ke arahku.
"Sori, khotbahnya lama tadi," lengan Hans terbuka menghampiriku. Aku pun berdiri menyambut pelukannya. Tampak tetes-tetes air yang tersisa di ujung-ujung rambut Hans, membuat wajahnya tampak segar.
"Santai... Eh, kamu mau pesen apa? Mumpung embaknya ke sini," ujarku ketika pesananku dibawakan ke meja. Kita sudah cukup sering nongkrong di sini sehingga tidak perlu lagi melihat buku menu.
"Mbak, red velvet latte satu ya," kata Hans. Pramusaji mencatat pesanan Hans, membacakan ulang, lantas turun ke lantai satu.
"Oiya, selamat hari raya, Alertta..." ucap Hans sembari duduk di sisi kiriku .
"Makasih, Hans... Selamat hari Jumat, anyway." kataku sembari memandang wajahnya sebentar, lantas menyesap cokelat kental dari cangkir porselen yang ada di atas meja. Tak berapa lama, kami terlibat obrolan-obrolan ringan. Entah bicara tentang teman kampus, rumah, khotbah hari ini, bahkan kesalahan pengumuman Miss Universe tempo hari.
"Kasian ya, tapi... Udah diumumin menang, padahal," komentarku sembari menyandarkan kepala. Siang ini pelanggan rumah makan cukup ramai sampai-sampai suara obrolan di lantai satu terdengar.
"Tapi yang akhirnya menang beneran juga shock banget pasti. Speechless gitu... Tampangnya itu lho," kata Hans .
"Bawah rame ya, btw," kataku
"Palingan nanti pada keatas," ujar Hans.
Benar saja. Tak berapa lama aku dan Hans melihat dua orang menuju ke lantai dua.
"Eh, itukan yang tadi kotbah," seru Hans ketika melihat sosok lelaki berambut putih yang tengah naik tangga. Di belakangnya ada seorang perempuan muda yang tengah hamil. Aku hanya melihat sekilas.
"Nak, di bawah penuh. Tapi di atas isinya orang-orang ngerokok. Gimana?" kata si lelaki berambut putih.
"Ya, gimana lagi, yah. Dekat jendela saja, nggak apa, yah," jawab si perempuan sembari mengusap perut buncitnya.
Terdengar suara langkah kaki, sedikit berlari menghampiri si ayah dan putrinya
"Yakin, nggak kenapa-kenapa?" suara lain muncul. Sebait Jinggle bells yang pagi tadi ku dengar kembali melintas. Sepasang tangan menjulur, memeluk lantas mengusap perut buncit si perempuan.
Comments
Post a Comment