Skip to main content

Mengenggam Pasir


Menjaga  manusia tak ubahnya menggengam pasir. Berilah mereka  ruang, sebab jikalau kamu menggengam mereka terlalu erat, kamu sekaligus membiarkan makin banyak pasir terlepas mengalir lantas tertiup angin dan kembali membaur bersama butir-butir pasir lain yang berceceran hingga tak lagi bisa kamu kenali. 

***
Siang ini begitu terik dan membakar. Matahari kelewat cerah sehingga kita berdua harus sama-sama memincingkan mata untuk dapat saling melihat wajah masing-masing. Di tepi pantai berpasir putih  ini hanya ada kita berdua. Duduk di tepian batang pohon kelapa sembari memandang ke arah laut lepas yang jernih, namun ternoda beraneka sampah-sampah plastik yang mengambang. Kita berdua membakar diri dalam panasnya mentari yang tengah tepat berada di atas kepala. Tanpa topi, tanpa penutup mata. Di jemari kita masing-masing telah tersulut sebatang rokok. Kamu yang duduk di sebelah kanan menyematkan rokokmu di jemari kanan, sementara rokokku terselip di jemari kiri.

"Kamu kemana aja? Kenapa jarang nongol? " tanyamu ketika rokok di tanganmu sudah terhisap setengah. Asapnya tertiup angin laut dan mengarah ke mataku. Pedih.

"Aku nggak kemana-mana, kok. I just need some space to breathe..."

Kamu hanya diam sembari tetap memandang lautan lepas. Rambutmu yang ikal berhambur liar dihempas angin beraroma garam.

"Aku kira kamu lagi bayak pikiran. Aku nggak mau nambah-nambahin pikiranmu aja. Kamu sendiri kan yang bilang kalau aku harus bisa jaga diri sendiri" sambungku sembari memadamkan rokok di jemari kiri.

"Tapi sekarang aku yang harus pergi. Aku harus kembali berkelana mencari kitab su..."

"Yasudah. Lakukan apa yang sekiranya perlu kamu lakukan. " Kunyalakan lagi sebatang rokok baru. Kali ini rokok milikmu yang kamu letakkan di atas batang pohon kelapa, diantara tempat kita duduk.

"Oiya, aku mau titip sesuatu." Puntung rokok di tangan kananmu tersentil jauh. Tanganmu lantas meraih sebuah kantong yang tersembunyi di balik batang kelapa, merogoh isinya dan menyodorkan kepadaku. Segenggam pasir putih dengan butiran amat kecil, namun padat dan rekat ketika telah tersapu air.

"Pasir ini aku ambil sekitar satu tahun lalu di tempat ini. Awalnya, aku kira aku tidak akan pernah menginjakkan kaki ke pantai di pulau ini lagi. Ternyata aku salah," katamu lagi, sembari menyodorkannya padaku.

Kuletakkan rokokku di batang pohon kelapa lalu menangkupkan tangan, menerima pasir dari genggaman tanganmu. Kamu pun kembali berpesan.

"Pasir-pasir ini layaknya manusia. Sekali mereka berhamburan, tidak mudah untuk mengumpulkan kembali setiap butirnya ketika mereka telah terlanjur lepas dari genggaman tanganmu."

"Iya, aku tahu. Mereka memang tidak seharusnya digenggam terlalu erat," kataku.



Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...