Skip to main content

Surat Wasiat


Tiga hari lalu, channel natgeo di yutub mengunggah video di atas. Saya lantas jadi teringat omongan random saya terkait 'apa yang akan kamu lakukan pada ragamu setelah mati?'. Omongan random ini sempat saya utarakan beberapa kali sebagai bentuk keprihatinan saya terhadap minimnya lahan pemakaman di salah satu kawasan tempat leluhur saya dimakamkan. Seperti layaknya masyarakat jawa yang setiap tahun berkunjung ke makam leluhur pada peringatan-peringatan tertentu, obrolan mengenai tergusurnya fungsi lahan pemakaman menjadi kawasan perumahan sudah menjadi percakapan rutin. Kebetulan pemakaman segelintir leluhur saya memang berada di kawasan perumahan. Sepintas, menarik memang melihat 'rumah masa kini' berdampingan dengan 'rumah masa depan'. Namun demikian, bukankah yang terbujur di dalam liang lahat sana tak punya kuasa untuk selalu 'hidup' nyaman di 'rumah masa depan' mereka? Sementara kehidupan-kehidupan baru terus-menerus menuntut untuk juga punya 'rumah masa kini'. Kalau pemakaman di sekitaran alamat KTP saya sih sejauh ini masih aman. Tapi, yha, siapa sih yang benar-benar tahu akan jadi apa lahan-lahan tersebut di masa depan. Lagipula, saya kerap mendengar desas-desus bahwasanya bangunan-bangunan yang kini berdiri megah ternyata berdiri di atas lahan pemakaman. Heuheuheu.
Berangkat dari asumsi kegelisahan penggusuran 'rumah masa depan' itu tadi, saya jadi memikirkan masa depan raga saya ketika sudah tidak bernyawa nanti. Maaf, yha, saya kalau lagi visioner memang kebangetan. Tapi, karena kabarnya 'apa yang berasal dari tanah sudah seharusnya kembali ke tanah', saya harap saya dikremasi saja ketika saat itu tiba. Kalau kata Banda Neira sih, sampai jadi debu~ Sekali lagi, maaf karena perempuan maha que sera-sera macam saya ini suka nyeletuk kebangetan tentang masa depan. Saya cuman nggak mau bikin repot di masa depan. Bukan berarti saya mau buru-buru reuni dengan para pendahulu saya di sana lho, yha. Masih banyak urusan di muka bumi ini yang harus saya tuntaskan.  Heuheuheu. Kalau abu saya mau dijadiin barang-barang kayak di video yang diunggah natgeo di atas tadi, nggak papa jugasih. It's kinda cool, rignt? 

Well, sekian surat wasiat ini saya tuliskan. Jangan nanyain warisan dulu, yha. Saya merasa belum punya apa-apa untuk diwariskan. Ehehehe.
Adios~

Jalan Kaliurang, 9 Mei 2016

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...