Alerta, seorang perempuan muda yang selalu mengenakan lipstick merah tua, baru saja akan pindah ke sebuah kota kecil demi memulai hidup baru. Kota kecil nan teduh dan tenang, di mana orang-orang tak pernah mengeluh dengan teramat riuh. Kota kecil dengan sebuah danau jernih yang membentang dan membuat suasana kian teduh, di mana ikan-ikan berkecipak tanpa menimbulkan kesan gaduh. Alerta memilih hijrah dari sebuah kota metropolutan bukan tanpa alasan. Di satu sisi, Alerta tak keberatan atau bahkan menyukai karakter manusia-manusia individual yang berdiam di kota metropolutan itu tadi. Manusia-manusia yang dengan bebasnya mengasapi minimarket 24 jam di tepi-tepi jalanan beraspal. Manusia-manusia yang tak terlalu ambil pusing dengan apa yang akan mereka makan, namun betul-betul mempertimbangkan pakaian macam apa yang akan mereka kenakan. Sebagai bagian dari segelintir umat manusia yang tak suka mencampuri urusan orang lain, kondisi kota metropolutan terbilang relatif ideal bagi perempuan macam Alerta. Sayangnya, ada satu hal yang membuat Alerta muak. Manusia-manusia individual ini lebih suka menyumpal sepasang telinga mereka dengan headset. Alerta paham betul bahwa headset tersebut sering kali sekadar pajangan. Tak ada musik klasik, dangdut, maupun grunge yang terdengar barang perlahan. Manusia-manusia individual tersebut sekadar menghindari percakapan langsung. Mereka lebih kerap tampak tersenyum ketika tengah memandangi gawai di genggaman tangan masing-masing dibanding ketika bertatap muka dengan sesama manusia.
Perasaan muak itulah yang menggiring Alerta untuk hijrah ke kota kecil nan teduh dan tenang, di mana orang-orang tak pernah mengeluh dengan teramat riuh. Alerta rasa, kote kecil nan teduh merupakan tempat yang tepat untuk membangun getaran-getaran positif dalam dirinya sendiri. Alerta sadar betul, kota metropolutan tempatnya dilahirkan tak sekadar sumber polusi udara dan polusi suara yang tak baik bagi kejiwaannya. Getaran-getaran negatif turut tercipta, bergaung dari keluhan-keluhan makhluk-makhluk individualis dan gawai-gawai yang tak pernah letih meminta sumber energi agar tetap terkoneksi ke dunia maya. Rasa muak sebenarnya bukan satu-satunya alasan Alerta untuk pindah. Sebuah surat yang diterimanya juga menjadi salah satu penyebabnya. Sebuah surat balasan yang sebenarnya dialamatkan tak hanya pada dirinya. Sebuah undangan untuk hadir dalam konferensi favoritnya. Konferensi pencerita yang menghadirkan pencerita-pencerita favorit Alerta. Pencerita-pencerita yang bahkan hanya sempat Alerta temui lewat setumpuk buku-buku yang ia pinjam dari kamar kakak perempuannya. Dalam surat itu bahkan tertulis bahwa Alerta ditawari untuk tingal selama ia mau sembari mengasah bakatnya sebagai pencerita muda. Meski di kota kecil nan teduh dan tenang, di mana orang-orang tak pernah mengeluh dikenal ada banyak pencerita yang tinggal, Alerta yakin betul bahwa ia tak akan sekadar menjadi pendengar di sana. Sesuai kode etik yang ada, pencerita yang baik juga wajib menjadi pendengar yang baik. Ada sebuah korelasi magis yang terjalin antara pencerita satu dengan pencerita lainnya. Mereka hanya akan bercerita jika memang diperlukan atau di dengarkan. Memang sesekali pencerita-pencerita itu bercerita pada diri mereka sendiri layaknya orang sinting. Namun demikian, bukankah komunikasi dengan diri sendiri memang wajib untuk selalu terjalin? Mengobrol dengan alterego yang tersembunyi dalam diri masing-masing justru membuat para pencerita ini tetap waras.
Tinggal di kota kecil nan teduh dan tenang di mana konferensi pencerita rutin diadakan tentu merupakan impian bagi pencerita muda macam Alerta. Alerta dapat mendengar cerita-cerita dari seluruh penjuru dunia, sembari mengkisahkan ceritanya yang nantinya juga akan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Tak perlu khawatir dengan persoalan bahasa. Begitu memasuki kota kecil nan teduh dan tenang di mana konferensi pencerita rutin diadakan, semua bahasa akan membaur. Tak akan ada misskomunikasi seperti yang kerap terjadi di kota metropolutan tempat asal Alerta.
Sebagai pencerita muda, Alerta merasa butuh persiapan untuk dapat beradaptasi di kota impiannya. Untuk itu, pada suatu sore yang mendung sehingga tidak dapat diidentikan dengan senja, Alerta memutuskan untuk menemui seorang sesama pencerita muda yang pernah beberapa kali mengikuti konferensi pencerita. Pencerita muda bernama Darren. Meski Alerta dan Darren seusia, Darren pernah berkelana ke sebuah negeri di ujung dunia. Perjalanan penuh rintangan yang membangun bermacam kenangan. Kenangan-kenangan tentang kehidupan-kematian, kepercayaan-pengkhianatan, cinta-kebencian, penyesalan, keputusasaan, dan rasa syukur yang membuatnya masih bisa menemui Alerta pada suatu sore yang tak cocok disebut senja. Pertemuan yang terjadi di perbatasan antara kota metropolutan dan kota impian Alerta, tepatnya di sebuah kedai kopi dalam stasiun, sembari menunggu kereta malam yang akan mengantarkan mereka berdua menuju kota impian Alerta. Kedai kopi bermeja kayu pendek yang masing-masing mejanya dikelilingi oleh tiga kursi berwarna serupa.
"Jadi, bagaimana rasanya melihat ujung dunia?", tanya Alerta sembari menyulut rokoknya. Lipsticknya meninggalkan noda tipis pada filter rokok kretek yang dihisapnya.
"Hmm.. Bagaimana, ya? Aku rasa waktu yang kamu sediakan tak akan cukup untuk mendengarkan cerita ini. Besok saja, ya. Kalau kita sudah sama-sama tinggal di kota kecil nan teduh dan tenang di mana konferensi pencerita rutin diadakan"
"Ah, kamu kan pencerita yang handal. Dua puluhan tahun hidupmu saja bisa kamu ceritakan dalam waktu kurang dari enam jam."
"Tolong diralat. Dalam enam jam, bukan cuma aku yang bercerita, ya... Kamu juga."
"Iyasih. Ehehehe... Kan kita sama-sama belajar menjadi pencerita yang baik."
"Hmmm... By the way, kamu baru pertama kali ikut konferensi pencerita, ya?"
"Yes, I am! Makanya, aku penasaran pengen denger pengalamanmu waktu di sana."
"Pernahkah kamu mendengar cerita tentang sebuah kotak kaca penyimpan rahasia?"
"Belum. Sebegitu pentingkah?"
"Penting. Sangat penting. Cerita kotak kaca penyimpan rahasia adalah cikal-bakal penciptaan kode etik pencerita."
"Kenapa tidak kamu ceritakan kepadaku sekarang juga?"
"Jadi, begini. Singkatnya, kotak kaca ini semacam piranti untuk menyimpan kenangan. Kenangan-kenangan yang tak boleh diceritakan secara gamblang dan sembarangan."
"Oke, aku mulai paham. Jadi, untuk dapat menetap di kota kecil nan teduh dan tenang di mana konferensi pencerita rutin diadakan, aku harus membangun kotak kacaku sendiri?"
"Nah... Kamu sudah paham."
Sore sudah berubah jadi malam. Mendung yang suram menjelma semakin kelam. Kereta menuju kota kecil nan teduh dan tenang, di mana orang-orang tak pernah mengeluh dengan teramat riuh sudah hampir tiba. Meski tengah asyik bercerita, Darren dan Alerta sama-sama masih mampu menangkap sayup suara pengumuman yang disampaikan petugas stasiun.
"Ayo. Kota kecil dengan sebuah danau jernih yang membentang sehingga membuat suasana kian teduh sudah menunggu kita, Alerta. Kisah perjalananku ke ujung dunia akan kuceritakan selama perjalanan kita nanti." Darren mengulurkan tangannya. Alerta pun menurut dan keluar dari kedai kopi tanpa banyak bicara sembari menjinjing barang-barang bawaannya. Mereka berjalan bersebelahan, memasuki kereta yang lantas melaju dengan kecepatan cahaya.
Comments
Post a Comment