Skip to main content

Perjalanan Alerta: Perpisahan



Darren dan Alerta melangkah dalam gerbong kereta yang tengah melaju dalam kecepatan cahaya.Meski melaju dalam kecepatan cahaya, langkah kaki-kaki mereka samasekali tak goyah. Teknologi memang luar biasa. Bahkan seorang pencerita tua berjambang putih pun melangkah menuju tempat duduknya dengan tenang, tanpa tampak tergoncang-goncang. Hampir seluruh tempat duduk di gerbong tersebut sudah diduduki manusia. Sejenak, Alerta melirik nomor tempat duduk yang tertera di lembaran tiketnya. 16 A, bersebelahan dengan Darren. Alerta pun bisa leluasa apabila ingin duduk di sebelah jendela sembari mengamati lintasan perjalanan, atau di sisi satunya apabila memilih untuk mengamat-amati penumpang lain yang juga sesama pencerita. Tak seberapa lama mereka telah duduk di bangku bernomor 16. 

"Perjalanan kita masih panjang. Aku ceritanya ntar aja, ya," Darren memulai percakapan.

"Terus, kita ngapain selama awal perjalanan ini?"

"Begini... Aku punya permainan. Bagaimana kalau aku mengucapkan satu kata, randomly, dan kamu bercerita apapun yag menurutmu berkaitan dengan kata yang kuucapkan." tantang Darren

"Kamu mau ngetest aku? Baiklah~"

"Oke... Ku mulai, ya. Perpisahan."

"Hmm... Oke... Dengarkan, ya..." Alerta sekejap mengerutkan kening lantas mulai bercerita tentang perpisahan...

***
Tahukah kamu, perpisahan merupakan bagian dari kehidupan. Dan sejauh aku hidup selama dua puluh lima tahun lebih, rasaku bilang bahwa ada dua tipe manusia ketika menghadapi perpisahan. Kali ini, aku umpamakan bahwa perpisahan terjadi antara seorang lelaki dan perempuan. Anggaplah aku perempuannya. Perempuan yang mengalami perpisahan. Entah saling berpisah, atau pergi tanpa pamit. Singkatnya, aku akan bercerita mengenai dua orang lelaki yang mereprentasikan perpisahan.

Lelaki pertama kusebut peluk. Aku mengenalnya ketika kami sama-sama terlibat dalam sebuah proyek tiga tahunan di kota asalku. Kebetulan aku dan peluk sama-sama lahir di kota metropolutan ini. Ternyata, jarak rumah kami tak sebegitu jauh. Akantetapi, karena pergaulan kami berbeda, aku dan peluk memang tidak pernah mengenal sebelumnya. Aku seorang penulis, sementara peluk lebih akrab dengan dunia fotografi. Dalam proyek tiga tahunan ini, aku dan peluk sama-sama bertugas untuk hal dokumentasi. Sebetulnya aku punya kamera sendiri, tapi ternyata banyak tulisan yang harus kubuat. Jadilah aku dan peluk harus bekerjasama, saling melengkapi. Aku suka peluk, atau kagum lebih tepatnya. Peluk adalah sosok lelaki realistis yang ceplas-ceplos, meski kadang omongannya terdengar tolol. Usianya lebih tua tiga tahun dariku, kalau aku tidak salah ingat.
Aku dan peluk terbilang cukup dekat, meski aku juga tak kalah dekat dengan rekan-rekan lainnya. Karena tuntutan tanggung jawab itu tadi, alasan kedekatan kami menjadi lain. Ada kalanya aku menulis sesuatu, lantas peluk mengambil gambar yang sesuai. Kadang, peluk menunjukkan gambar hasil jepretannya padaku. Gambar yang dia rasa menarik, dan menjual tentunya, untuk lantas aku jabarkan dalam bentuk tulisan. Aku kagum dengan jepretan-jepretan peluk yang selalu dia jabarkan padaku dengan pola pikirnya yang maha-realistis. Jujur, aku kagum dengan sosok peluk. Peluk yang suka memecah keheningan ketika aku tengah serius menulis. Peluk yang sangat-sangat idealis. Peluk yang sibuk, dan selalu berpamitan padaku usai menyetor hasil jepretannya.
 Begitulah rutinitas kami selama kurang lebih tiga bulan. Namun demikian, meski jarak rumah kami berdekatan, aku samasekali tak pernah bertemu peluk di luar urusan dokumentasi. Bagiku, itu sudah cukup. Baginya? Entah. Aku tidak terlalu ambil pusing mengenai rasanya padaku. Seperti aku tak ingin dia ambil pusing mengenai rasaku padanya. 
Tiga bulan pun berlalu. Hari terakhir dalam proyek tiga tahunan kami. Aku lega, acara kami berjalan lancar. Tapi, sedih juga harus berpisah dengan orang-orang yang secara sadar sudah menjadi bagian dari rutinitasku selama tiga bulan ini. Dalam acara puncak yang riuh, sepintas aku melihat peluk tengah duduk sendirian sembari mengamati orang-orang yang tampak mengobrol. Acara puncak ini kebetulan berkonsep garden party dengan posisi bangku-bangku taman yang tidak dipindahkan. Orang-orang memang lebih memilih untuk berdiri sembari menikmati alunan musik yang mengalir dan menunggu kembang api diluncurkan menjelang tengah malam. Akupun demikian, ikut bergoyang sembari mengenang hal-hal apa saja yang sudah kami lakukan selama tiga bulan ini. Lelah bergoyang, kembali sepintas kulirik bangku tempat peluk duduk. Dia masih disana, memandang ke arahku sepintas, lantas mengalihkan pandangan ke arah panggung. Tinggal menunggu menit, kembang api akan diluncurkan ke angkasa. Kakiku yang lelah lantas melangkah ke arah tempat duduk peluk yang masih kosong.

"Luk, gue duduk sebelah elo, yak. Capek nih," kataku dengan napas ngos-ngosan.

"Silakan, duduk aja," peluk memandangku sekilas.

"Duduk aja, nih? Sendirian pula"

"Elo mau nemenin atau mau ngusir?" ujar peluk. Terdengar santai seperti percakapan kami biasanya.

"Numpang nyandar, boleh? Bangkunya keras, nih. Elo kan enak, empuk gitu"

"Yaudah, sini," lengan peluk terbuka menyambutku, dan kepalaku bersandar pada bahunya.

"Luk..."

"Ya??"

"Gue ngefans sama elo..." kataku sembari melirik ke arahnya. Peluk tertawa.

"Terus?"

"Yaelah, malah ketawa..."

"Oke, makasih. Hehe..."

"Udah?? Gitu doang??"

"Lah, maumu apa?"

Maumu... Kamu... Caranya memanggilku tak seperti peluk yang biasanya. Apakah pertemuan terakhir kami membuatnya jadi sentimentil? Atau... Ah, entahlah. Aku diam dengan kepala masih bersandar di bahunya. Tak berapa lama, pembawa acara mengumumkan bahwa sepuluh detik lagi kembang api akan di luncurkan.

"Berdiri, yuk. Kamu nggak mau ketinggalan kembang api, kan? Kalo duduk gini nggak keliatan jelas," peluk mengajakku berdiri. Aku ikut saja, meski malas karena baru duduk sebentar. Kepala kami lantas menengadah. Demikian halnya kepala orang-orang di sekitaran kami. Kembang api diluncurkan. Langit tampak berpendar-pendar diiringi sorakan-sorakan kekaguman.

"Boleh minta peluk?" kataku tiba-tiba. Dan tanpa banyak bicara, masih sambil menengadah, aku memeluknya. Peluk pun tak menolak. Kedua tangannya menepuk-nepuk punggungku, lantas tak melepaskannya hingga kembang api berpendar lima kali. Aku menahan napas, lantas mendengus perlahan. Aku tak dapat mendefinisikan rasaku padanya, bahkan hingga pelukan ini berakhir. Hambar, datar. Tak ada geletar-geletar janggal. Rasanya seperti memeluk seorang teman yang sangat lama tak kujumpai, untuk lantas berpisah lagi dan bertingkah seakan tak pernah ada pertemuan yang terjadi. 
Pelukan kami berakhir. Acara puncak pun resmi berakhir. Masing-masing dari kami tidak pernah ada kabar lagi. Tak ada ungkapan perpisahan, sekadar ucapan selamat tinggal. Rutinitas-rutinitas baru pun diciptakan.

Seminggu setelah acara berakhir, aku kembali terikat dengan rutinitas lain dengan manusia-manusia yang juga lain. Tak ada lagi sosok macam peluk. Anehnya, aku merasa biasa saja. Akh, mungkin memang sejak semula aku tak ada rasa padanya. Life must go on, right? 
Pada saat-saat seperti ini, aku mengenal sore. Sore adalah seorang pengkhayal, jauh berbeda dengan peluk yang teramat realistis. Jika dia masih hidup, bisa jadi dia juga turut serta dalam konferensi pencerita. Perlu kamu tahu, cerita mengenai perpisahanku dengan sore tak ada hubungannya dengan kematiannya.
Seperti yang tadi sudah kubilang, sore adalah seorang pengkhayal. Seorang pengkhayal bisa jadi seorang pencerita yang menarik, bukan? Meski buku yang kami baca nyaris tak pernah sama, obrolan-obrolan kami nyatanya nyambung-nyambung saja. Sore adalah pendengar yang baik. Dia paham kode etik pencerita yang hanya bercerita ketika didengar, dan gantian mendengarkan ketika ada yang bercerita. Terkadang kami memperdebatkan hal-hal absurd dan tolol. Karena seperti tadi yang kubilang, buku-buku yang kami baca sering kali berbeda. Dasar omongannya dan omonganku tentu nyaris tak pernah sama. Meski demikian, kami tetap selalu saling mendengarkan cerita masing-masing ketika kami hanya berdua di tepian pantai sembari menikmati senja. Aku suka memeluknya dari belakang dengan satu tangan. Tanganku satunya menutup matanya, memintanya menebak siapa yang datang tanpa bersuara. Jika sudah begitu, sore memilih diam sebentar. Gerak-gerik tubuhnya tak mengisyaratkan penolakan. Tangan kananya lantas melepaskan tanganku yang menutup matanya secara perlahan. Ada perasaan aneh yang menjalar ketika tangan kami bersentuhan. 
Ada satu hal yang membuatku memandang peluk dan sore sebagai sosok yang sangat-sangat berbeda dalam menghadapi perpisahan. Entah perpisahan tersebut hanya sebentar atau lama. Sore tidak suka berpamitan. Apabila urusannya sudah selesai, dia akan langsung ngeluyur pergi tanpa banyak basa-basi. Tentang kebiasaan ini, sore pernah bilang sendiri. Dia tidak suka perpisahan dengan segala kenangan yang akan melekat sesudahnya. Baginya, kenangan tak akan dibawa ketika manusia telah mati. Perihal kenangan inilah yang kerap kuperdebatkan dengan sore. Sampai pada akhirnya sore benar-benar pergi tanpa pamit. Sore menjadi korban tabrak lari ketika matahari terbenam dan menyisakan cahaya kemerahan. Merah, semerah darahnya yang membasahi aspal hitam nan basah. Ironisnya, aku adalah orang terakhir yang dia temui sebelum kecelakaan terjadi. Karena aku tiba lebih dulu, aku tak sempat memeluknya dari belakang kala itu. Mana aku tahu kalau pelukanku padanya bisa jadi adalah pelukan terakhir. Sepertinya, sore melihat aku sedang sibuk di hadapan laptopku usai pembicaraan kami selesai. Seperti biasa, sore pergi begitu saja. Bahkan aku sudah tak sanggup menangis ketika datang ke pemakamannya. Aku tak suka mengenang sore yang suka seenaknya sendiri, pergi tanpa pesan.

*** 
Alerta mengakhiri ceritanya. Darren masih tampak menyimak, sembari menunggu kalau-kalau ada kata-kata yang tersisa dan meluncur dari bibir Alerta. Bibir yang selalu berwarna merah tua.

"Well... Boleh juga? Kisah nyata?"

"Rahasia..."

"Jadi, intinya kamu memandang bahwa ada dua tipe orang ketika menghadapi perpisahan?"

"Yup! Betul sekali~"

"Mereka yang berpamitan baik-baik dan mereka yang pergi begitu saja?"

"Iya... Bagaimana? Plot ceritaku terlalu memaksa, ya? Ceritaku kurang lama?"

"Tidak. Aku suka ceritamu, kok. Nanti kalau terlalu lama, kita keburu sampai. Bukankah kamu ingin mendengar ceritaku juga?"

Alerta menangguk riang. Kereta menuju kota impian Alerta tetap melesat dengan kecepatan cahaya.

"Begini saja, kamu gantian sebutkan satu kata. Nanti aku akan bercerita mengenai perjalananku ke ujung dunia."

"Hmmm... Sebentar. Biar aku pikirkan baik-baik."

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2