Skip to main content

Mengenang Mata



Air Mata Dali, Captured on Artjog9

Aku tak ingat apakah sepasang mata itu milikmu atau bukan.  Aku tak tahu persis sejak kapan sepasang mata itu kembali membuatku mengenang. Karena aku tak yakin sepasang mata yang kulihat itu matamu atau bukan, perkenankanlah aku menceritakan sepasang mata yang tetiba ingin ku kenang itu.

Perlu kamu tahu,entah sudah berapa juta pasang mata manusia yang pernah coba kubaca. Kali ini, kita hanya akan membicarakan tentang mata manusia saja. Kalau yang bukan manusia juga  masuk hitungan, pastilah hitung-hitungannya berlipat-ganda. Mata yang langsung menghindar malu-malu ketika mataku mencoba mengajak bertemu. Mata yang melirik ke samping ketika sang empunya berniat menipu.  Mata yang menyimpan dendam dan ambisi tersembunyi tiap kali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Sepasang mata itu beda, meski aku mengakui bahwa aku belum pernah menemui manusia dengan sorot mata yang persis sama. Caranya menatap dunia benar-benar menarik, setidaknya bagi sepasang mataku yang dengan seenaknya memutuskan untuk mengenang sepasang matanya saja. Hanya sepasang  mata, dipayungi alis yang juga sepasang.  Alis yang  entah tipis, entah lebat. Entah kecokelatan, entah hitam kelam. Aku bahkan tak bisa memutuskan bentuk hidung seperti apa yang terpahat memanjang  di antara keduanya.  Demikian halnya dengan bibir yang terus-menerus meminta penjelasan. Adakah kumis tipis yang memayungi bibir seperti alis memayungi mata dari kucuran keringat yang menderas karena panas?  

Sepasang mata itu pertama kali beradu dengan tatapku sekitar dua tahun lalu. Ketika itu aku masih merupakan mahasiswa tahun kedua dan tengah menjaga salah satu stand unit kegiatan mahasiswa. Tak terhitung sudah berapa banyak orang yang melintas dan bertanya macam-macam hal. Dari sekian penanya, entah kenapa sepasang mata itu tiba-tiba mampir. Sepasang mata yang benar-benar sepasang. Menempel pada satu kepala, tanpa pendamping di samping. Sepasang mata yang seenaknya mencuri sepasang mataku, untuk kemudian kehilangan  kuasa untuk mengalihkan pandangan dan berusaha merekam hal lain mengenai sang pemilik sepasang mata.

Biar kujabarkan mengenai sepasang mata itu. Siapa tahu sepasang mata itu memang milikmu, atau pernah menjadi milikmu. Bukankah sorot mata turut tumbuh, berkembang, dan berubah seiring dengan berjalannya waktu? Sepasang mata itu sepintas mengingatkanku pada mata kucing yang penuh rasa ingin tahu.  Kucing kecil dengan rasa ngin tahu yang besar. Kalau boleh jujur, aku lebih menyukai anjing daripada kucing. Aku bisa berteriak girang manakala ada segerombolan anak anjing yang berlari ke arahku. Tapi, bukan berarti aku tidak bisa mencintai kucing, bukan? Aku terkadang heran. Mengapa manusia gemar mengkategorikan manusia-manusia lain. Cat person, dog person.  
Selain menyerupai mata kucing, hal lain yang ku ingat tentang sepasang mata itu adalah sorotannya yang tampak jujur dan bening. Beningnya  kecokelatan, kian kentara  ditimpa seberkas sinar matahari yang merembes dari arah samping ketika tengah hari lewat. Sorot mata yang membuat waktu berjalan lama sehingga mataku sanggup mengenang sepasang mata dan menjadikannya abadi. Bahkan sesaat telingaku menjadi tuli, meski samar-samar kuingat apa yang ditanyakan oleh sang pemilik sepasang mata.

Aku tak sanggup lagi mengenang untuk memutuskan, sepasang mata itu milikmu atau bukan. Bila milikmu, lebih baik kau congkel saja. 

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2