Skip to main content

Motivasi Bodoh



"Astaga... kamu ngurusin badan cuman demi baju itu, cik?? " 

Kalimat di atas entah benar-benar diucapkan oleh salah seorang teman, entah tidak. Saya tidak begitu ingat. Yang saya ingat adalah judul tulisan ini, salah satu tulisan yang nyaris membusuk di draft postingan blog saya. Ingatan yang seketika muncul lantaran Selasa kemarin (7/2) saya sok-sokan selo lantas menemui salah seorang teman kuliah saya yang sudah sahih menjadi sarjana. Sebut saja namanya Didi, yang kini sudah tidak lagi menyandang status sebagai beban negara maupun beban orangtua. Saya mengenal Didi semenjak awal kuliah, dan kami sempat sama-sama pergi ke Bali berdua saja. Sebuah kenekatan yang hakiki yang kala itu hanya bisa saya abadikan dengan memori lantaran saya belum memiliki ponsel pintar maupun kamera.
Sunset di Sanur. Kayaknya yang ngefoto Didi. Ehehehe.

 Laiknya teman lama (padahal terakhir ketemu juga baru kapan), kami banyak bercerita tentang macam-macam hal seperti bagaimana bisa teman saya ini akhirnya menyandang gelar sarjana. Atau, lebih tepatnya, hal-hal apa saja yang memotivasinya agar lekas wisuda. Macem-macem, sih, dan nggak bakal saya ceritakan di sini juga. Intinya, ada hal-hal yang sebenarnya terdengar konyol, namun membuat doi lebih giat mengejar gelar sarjana. Dari aneka macam ragam motivasi yang kami diskusikan, sampailah pada satu kesimpulan. Ada kalanya motivasi yang (mungkin) bagi orang lain terdengar tolol atau bodoh justru kian menguatkan motivasi-motivasi lain yang lebih besar.

Sebagai gambaran, mari kita kembali pada ilustrasi awal, perihal baju lama yang tetiba muat saya pakai lagi setelah sekian tahun menganggur di dalam lemari.  Selama apa?? Ada beberapa baju yang kembali muat dan masih layak pakai. Tapi, yang paling saya ingat adalah baju yang terakhir kali saya kenakan pada waktu saya (kalau tidak salah) masih kelas enam (atau lima?) sekolah dasar. Baju tersebut saya kenakan kembali waktu perayaan malam natal 2016 lalu. Coba dihitung, sudah berapa tahun, hayoo??

 Jadi, motivasi "biar baju lama muat, jadi hemat" adalah motivasi bodoh saya untuk diet, termasuk samasekali tidak makan nasi selama setahun. I'ts sounds stupid, I know. But... hell yeah, it's work on me! Toh motivasi besar di balik diet yang saya jalani adalah demi hidup yang lebih seimbang. Seimbang, bukan hidup sehat. Saya masih cinta makanan enak berlemak macam babi kecap dan gorengan. Heuheuheu. Tapi, ya kalau mau makan enak tetap kudu sadar diri. Jangan tiap hari juga. Imbangi dengan sayur, buah, dan minum air yang cukup. *macak konsultan kesehatan*. Lagipula, mengatur pola makan tidak ada ruginya, meski ibu saya sempat khawatir manakala collarbone saya tampak kian menonjol. I'm okay, mom. Malah enak. badan jadi kerasa enteng. Heuheuheu.

Jadi, terkait motivasi bodoh agar saya lekas sarjana, apakah sudah ketemu? 
Rahasia :p


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2